Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu penyakit menular paling berbahaya di dunia. Rifampisin (RIF), yang merupakan antibiotik utama untuk pengobatan TB, memiliki kelemahan karena sifatnya yang lipofilik sehingga mudah terdegradasi di saluran pencernaan hingga 50%. Kondisi ini menurunkan efektivitas pengobatan sekaligus meningkatkan risiko efek samping. Untuk mengatasi persoalan tersebut, para peneliti mengembangkan teknologi baru berupa enkapsulasi obat, yaitu melapisi antibiotik dengan material pelindung agar lebih stabil dan mampu dilepaskan secara terkontrol di dalam tubuh. Inovasi terbaru yang dihasilkan adalah metode pembuatan matriks kitosan-alginat menggunakan teknik perakitan mandiri lapis demi lapis atau Layer-by-Layer (LbL) self-assembly dengan bantuan templat membran polikarbonat. Matriks ini tidak hanya melindungi antibiotik, tetapi juga memanfaatkan ion lantanida, seperti samarium, sebagai penanda fluoresensi yang memungkinkan pemantauan pelepasan obat secara real time.
Proses pembuatan matriks dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, disiapkan larutan polimer berupa kitosan yang dilarutkan dalam campuran NaCl dan asam asetat, serta alginat yang juga dilarutkan dalam larutan NaCl. Selanjutnya, membran polikarbonat berpori disonikasi agar steril dan dapat digunakan sebagai templat. Proses perakitan dilakukan dengan merendam membran secara bergantian ke dalam larutan kitosan dan alginat sehingga terbentuk lapisan matriks, yang dapat diulang hingga puluhan kali sesuai kebutuhan. Antibiotik rifampisin kemudian dicampur dengan ion lantanida, seperti Sm³⁺, Eu³⁺, Tb³⁺, atau Dy³⁺, lalu dienkapsulasi ke dalam matriks kitosan-alginat. Hasilnya diuji melalui berbagai karakterisasi seperti SEM, PSA, dan uji disolusi pada kondisi pH lambung maupun usus untuk mengetahui stabilitas serta profil pelepasan obat.
Gambar 1: Metode Pembuatan Matriks Kitosan-Alginate Menggunakan Teknik Perakitan Mandiri Lapis Demi Lapis dengan Templat Membran Polikarbonat, Matriks Kitosan-Alginate dan Penggunaannya untuk Enkapsulasi Antibiotik yang Termodifikasi Lantanida.
Tujuan dari inovasi ini adalah untuk mencegah degradasi rifampisin di saluran pencernaan, mengontrol pelepasannya secara bertahap, meningkatkan efisiensi penyerapan dengan bantuan ion lantanida, serta memungkinkan pemantauan pelepasan obat melalui sifat fluoresensi. Dibandingkan metode konvensional, sistem ini menawarkan beberapa keunggulan. Rifampisin dapat terlindungi dengan tingkat efisiensi penyerapan hingga 71,22% pada konsentrasi tertentu, pelepasan obat berlangsung terkontrol sesuai kondisi pH tubuh, dan bahan kitosan serta alginat yang digunakan bersifat biokompatibel sehingga aman digunakan. Selain itu, kehadiran ion lantanida memberikan kelebihan tambahan berupa kemampuan fluoresensi yang memungkinkan pelepasan obat dipantau secara langsung menggunakan spektroskopi.
Gambar 2: Ilustrasi Kitosan dan Alginat
Menurut Eny Kusrini, Ph.D, peneliti yang mengembangkan inovasi ini, teknologi ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan lebih lanjut, tidak hanya dari sisi ilmiah, tetapi juga peluang industrinya. Ia menyampaikan, “Harapan saya, kalau memang sudah mendapatkan paten, penelitian ini bisa dilanjutkan ke arah aplikasi nyata, misalnya pembuatan produk obat atau bekerja sama dengan mitra industri. Sejauh ini, topik ini masih tergolong baru dan menarik karena melibatkan bahan alam, khususnya kitosan yang sangat melimpah di Indonesia. Jadi potensinya ke depan cukup besar untuk dikembangkan sebagai matriks dalam mengenkapsulasi antibiotik yang dimodifikasi. Harapannya, hasil penelitian ini bisa memberi manfaat nyata bagi dunia kesehatan,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Chairul Hudaya, Ph.D, Direktur Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi Universitas Indonesia. Ia menekankan pentingnya hilirisasi hasil penelitian agar tidak hanya berhenti pada publikasi, tetapi juga bisa diadopsi oleh industri dan masyarakat. “UI terus mendorong para peneliti untuk menghasilkan inovasi yang aplikatif dan berdampak luas. Invensi seperti matriks kitosan-alginat untuk penghantaran antibiotik ini sangat relevan karena menjawab tantangan nyata di bidang kesehatan, khususnya tuberkulosis yang masih menjadi masalah besar di Indonesia. Kami berharap inovasi ini bisa segera dikembangkan bersama mitra industri agar manfaatnya dapat dirasakan masyarakat secara langsung,” jelasnya.
Inovasi matriks kitosan-alginat ini memiliki potensi aplikasi yang luas. Dalam pengobatan TB, sistem ini dapat menjadi metode penghantaran obat baru yang lebih efektif dibandingkan obat oral konvensional. Tidak hanya terbatas pada TB, konsep ini juga bisa dikembangkan untuk berbagai antibiotik atau obat lain yang rentan terhadap degradasi. Bahkan, sifat fluoresensi dari ion lantanida membuka peluang pemanfaatan teknologi ini dalam sistem terapi berbasis sensor, yang memungkinkan pemantauan lebih akurat selama proses pengobatan berlangsung.
Kesimpulannya, metode pembuatan matriks kitosan-alginat dengan teknik LbL self-assembly terbukti efektif untuk mengenkapsulasi antibiotik rifampisin yang dimodifikasi dengan ion lantanida. Sistem ini meningkatkan stabilitas obat, mengatur pelepasan secara bertahap, dan memberi kemampuan pemantauan berbasis fluoresensi. Dengan segala keunggulannya, inovasi ini berpotensi besar menjadi solusi baru dalam terapi tuberkulosis maupun penyakit lainnya yang memerlukan sistem penghantaran obat yang lebih cerdas dan efisien.
Penulis: M. Iqram
Editor: Indah Handayani