Avian influenza atau flu burung hingga kini masih menjadi ancaman nyata bagi dunia kesehatan hewan maupun manusia. Penyakit yang disebabkan oleh virus influenza A dari famili Orthomyxoviridae ini terkenal sangat mudah menular, terutama melalui udara (aerosol). Di Indonesia, kasus flu burung masih ditemukan dalam berbagai subtipe, di antaranya H5N1, H7N9, dan H9N2. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan kemunculan H5N1 clade baru, yakni 2.3.4.4b, yang mengakibatkan kematian unggas dalam jumlah besar dan menimbulkan kerugian besar bagi peternak. Kondisi tersebut tidak hanya berdampak pada sektor peternakan, tetapi juga meningkatkan risiko penyebaran virus ke manusia, terutama bagi mereka yang hidup berdekatan dengan unggas atau mengonsumsi produk ternak yang terinfeksi.
Selama ini, upaya pencegahan penyebaran flu burung di Indonesia dilakukan melalui vaksinasi unggas dengan menggunakan vaksin berbasis virus inaktif. Vaksin ini bekerja dengan membentuk antibodi dalam tubuh unggas sehingga mampu menetralisasi virus yang masuk. Namun, kelemahan utama dari vaksin konvensional adalah efektivitasnya hanya optimal apabila virus yang beredar identik dengan strain dalam vaksin. Jika virus mengalami mutasi dan tidak lagi homolog, maka vaksin tidak mampu mencegah penyebaran penyakit. Sementara itu, penggunaan obat antivirus juga tidak lagi menjadi solusi efektif karena semakin banyak virus yang terbukti resisten. Dengan tantangan tersebut, diperlukan inovasi baru yang lebih adaptif dan mampu melindungi unggas dari berbagai subtipe virus sekaligus.
Menjawab kebutuhan tersebut, tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang dipimpin oleh Prof. dr. Amin Soebandrio, PhD, SpMK(K), mengembangkan AI-ProVac, sebuah inovasi vaksin intranasal yang menawarkan pendekatan berbeda dari vaksin unggas pada umumnya. AI-ProVac dirancang berbasis ikatan antara imunoglobulin G (IgG) dan protein A. Antibodi IgG yang digunakan dalam inovasi ini merupakan hasil rekayasa terhadap antigen hemaglutinin rekombinan yang mewakili epitope protein dari berbagai subtipe avian influenza. Dengan demikian, AI-ProVac mampu menangkap dan menghambat berbagai subtipe virus, bukan hanya satu jenis tertentu.
Protein A yang berasal dari bakteri Staphylococcus aureus berfungsi mengikat bagian Fc dari IgG. Saat virus flu burung masuk ke tubuh unggas, bagian Fab dari IgG akan berikatan dengan virus tersebut sehingga mencegahnya menginfeksi sel. Kompleks yang terbentuk dari interaksi IgG, protein A, dan virus kemudian bertindak sebagai vaksin yang merangsang pembentukan antibodi. Mekanisme ini menjadikan AI-ProVac bukan hanya memberikan perlindungan pasif, tetapi juga mampu bekerja aktif sebagai vaksin pada saat terjadi wabah. Cara pemberiannya pun relatif mudah karena diaplikasikan secara intranasal, sehingga mengurangi stres pada unggas yang biasanya muncul saat vaksinasi melalui injeksi.
Proses pengembangan AI-ProVac dilakukan secara bertahap dan sistematis, mulai dari produksi protein HA rekombinan, pembuatan serum anti-HA, pemurnian IgG, produksi bakteri Staphylococcus aureus strain Cowan I yang memiliki protein A, hingga proses *labeling* dan pencampuran dengan adjuvan berbasis kitosan. Vaksin kemudian dikemas dalam botol dan diuji secara ketat, baik dari sisi keamanan maupun potensi. Selain itu, pengujian stabilitas dilakukan untuk mengetahui masa simpan vaksin, diikuti dengan uji performa pada ayam skala besar serta pengujian kemungkinan terjadinya mutasi virus setelah vaksinasi berulang. Seluruh rangkaian penelitian ini dirancang untuk memastikan bahwa AI-ProVac aman, efektif, dan siap digunakan di lapangan.
Indonesia dengan populasi unggas yang sangat padat, mulai dari ayam pedaging, ayam petelur, bebek, hingga unggas kampung, sangat membutuhkan solusi inovatif dalam menghadapi ancaman flu burung. AI-ProVac hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut dengan menekan angka infeksi pada unggas, sekaligus mencegah penyebaran virus ke manusia. Dengan demikian, inovasi ini tidak hanya menyelamatkan industri perunggasan dari kerugian ekonomi, tetapi juga melindungi kesehatan masyarakat luas.
Gambar 1: Produk AI-ProVac
Pengembangan AI-ProVac dilakukan bekerja sama dengan PT. Medika Satwa Laboratoris sebagai mitra industri. Kolaborasi ini memastikan bahwa produk tidak hanya berhenti pada tahap penelitian, tetapi juga siap diproduksi dan dipasarkan secara luas. Target utama distribusi adalah peternakan besar maupun kecil-menengah yang selama ini paling rentan terkena dampak wabah flu burung. Dengan dukungan Kementerian Pertanian dan lembaga terkait lainnya, AI-ProVac juga memiliki peluang untuk masuk ke pasar internasional, terutama di negara-negara yang masih menghadapi masalah serius dengan avian influenza. “Produk ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi antara kedokteran manusia dan hewan dapat menghasilkan solusi yang bermanfaat luas, tidak hanya untuk peternak tetapi juga untuk kesehatan masyarakat,” ujar Prof. Amin Soebandrio.
Senada dengan hal tersebut, Chairul Hudaya, Ph.D., Direktur Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi (DIRBT) UI, menegaskan bahwa AI-ProVac adalah salah satu wujud nyata dari komitmen UI dalam menghadirkan riset berdampak tinggi. “Kami mendukung penuh pengembangan AI-ProVac karena inovasi ini bukan hanya menjawab kebutuhan peternak, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat. Sesuai arahan Rektor UI, kami mendorong agar setiap inovasi hasil riset dapat segera dihilirisasi dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat,” ujarnya.
Kehadiran AI-ProVac menjadi langkah penting dalam penerapan konsep *One Health* di Indonesia, di mana kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling berkaitan erat. Dengan penerapan vaksin inovatif ini, diharapkan rantai penularan flu burung dapat diputus sejak dari sumber utamanya, yaitu unggas. Pada akhirnya, inovasi ini tidak hanya melindungi industri perunggasan nasional, tetapi juga menjaga keamanan pangan dan kesehatan publik secara berkelanjutan.
Penulis: M. Iqram