Permasalahan pemeriksaan kesehatan di Indonesia masih diwarnai oleh keterbatasan alat monitoring pasien yang invasif, tidak portabel, dan belum terhubung secara real-time. Kondisi ini memperlambat pelayanan medis, meningkatkan biaya, serta membuat akses terhadap alat kesehatan tidak merata—terutama di fasilitas kesehatan kelas C ke bawah. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hingga tahun 2022, hanya sekitar 16,4% fasilitas kesehatan di Indonesia yang memiliki alat monitoring pasien, sementara 94% alat kesehatan masih merupakan produk impor. Situasi ini menjadi dorongan utama lahirnya MOLITAV, inovasi alat pemantauan pasien yang dikembangkan untuk menjawab kebutuhan sistem kesehatan yang lebih cepat, efisien, dan mandiri.
MOLITAV hadir sebagai perangkat monitoring pasien berbasis IoT yang portabel, cepat, dan sepenuhnya non-invasif. Berbeda dengan alat konvensional, MOLITAV memungkinkan pengguna memantau kondisi tubuh hanya dengan meletakkan jari pada sensor, tanpa perlu pengambilan darah atau menembus permukaan kulit. Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu satu menit, dan data dikirim langsung ke dashboard tenaga medis secara real-time. Inovasi ini menjadikan pemeriksaan kesehatan jauh lebih praktis dan nyaman, sekaligus memperluas akses masyarakat terhadap layanan kesehatan mandiri (self-monitoring dan self-decision making).
Gagasan pengembangan MOLITAV telah berjalan selama enam tahun, namun semangat kewirausahaan mulai tumbuh kuat pada awal tahun 2024. Sang inovator menyadari bahwa hasil riset tidak boleh berhenti di laboratorium. Tantangan nyata dunia kesehatan hanya bisa dijawab melalui praktik dan keberanian untuk membangun bisnis berbasis inovasi lokal. Dari sinilah, MOLITAV bertransformasi menjadi startup di bidang alat kesehatan (ALKES UMKM) yang berkomitmen menguatkan kemandirian industri alat kesehatan nasional.

Gambar: Alat Monitoring Pasien Non-Invasif, Cepat, dan Portabel
Tujuan utama MOLITAV adalah menghadirkan alat pemantauan pasien yang dapat digunakan secara luas, termasuk di daerah-daerah dengan keterbatasan fasilitas medis. Keberadaan alat ini diharapkan dapat mempercepat proses pemeriksaan, menekan biaya layanan, serta meningkatkan kemandirian masyarakat dalam memantau kesehatannya sendiri. Lebih jauh, pengembangan MOLITAV juga diharapkan mampu memberikan dampak ekonomi dengan membuka peluang bagi UMKM lokal untuk turut serta dalam produksi alat kesehatan dalam negeri. Dengan demikian, MOLITAV tidak hanya menjawab tantangan di bidang medis, tetapi juga menjadi motor penggerak bagi kemandirian industri alat kesehatan nasional.
Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi Universitas Indonesia (DIRBT UI), Dr. Chairul Hudaya, Ph.D., “Inovasi seperti MOLITAV adalah bentuk nyata kontribusi sivitas akademika dalam memperkuat kemandirian bangsa di bidang kesehatan. Produk ini menunjukkan bahwa riset dapat berdampak langsung bagi masyarakat jika diiringi dengan semangat kewirausahaan dan keberlanjutan.”
Menutup pernyataannya, Juan Karnadi, selaku CEO MOLITAV, menyampaikan harapan kolaboratifnya, “Harapannya ya semua bisa bersinergi. Anda punya latar belakang teknik, medis, atau bahkan hanya semangat belajar — Anda bisa terlibat. Kita bisa kok menciptakan alat-alat kesehatan buatan anak bangsa dan memperbaiki mekanisme pemeriksaan kesehatan di Indonesia yang masih banyak manual di 80% fasilitas kesehatan kita sendiri. Mari kita jadikan teknologi ini sebagai alat perjuangan untuk kemandirian kesehatan Indonesia.”
Dengan prinsip cepat, portabel, dan non-invasif, MOLITAV menegaskan posisinya sebagai inovasi strategis yang tidak hanya membawa manfaat bagi sektor kesehatan, tetapi juga memperkuat ekosistem teknologi medis buatan Indonesia menuju masa depan yang lebih mandiri dan berdaya.



