Inovasi Aplikasi Shallow Water Mapper (SWM): Teknologi Cerdas Pemetaan Batimetri Perairan Dangkal Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di kawasan tropis dan dilintasi oleh garis khatulistiwa. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2024, luas wilayah perairan Indonesia mencapai sekitar 6,4 juta km², atau lebih dari 70 persen dari total wilayah Indonesia. Perairan laut Indonesia juga menjadi wilayah Marine Mega Biodiversity terbesar di dunia, dengan lebih dari 950 spesies biota terumbu karang serta ribuan spesies laut lainnya. Keindahan dan keanekaragaman hayati tersebut menjadikan perairan Indonesia dikenal sebagai surga bawah laut dan pusat segitiga keanekaragaman karang dunia (coral triangle), yang meliputi perairan Sulawesi, Papua, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku.

Namun, di balik potensi sumber daya laut yang melimpah, pemetaan kedalaman dan topografi dasar laut Indonesia masih belum dilakukan secara detail. Tantangan geografis, luasnya wilayah perairan, serta keterbatasan akses di beberapa daerah menjadi hambatan utama dalam memperoleh data batimetri yang akurat. Padahal, informasi tersebut sangat penting untuk mendukung keselamatan pelayaran dan mencegah kapal menabrak terumbu karang yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan maupun kecelakaan laut.

Untuk menjawab tantangan tersebut, tim peneliti Universitas Indonesia mengembangkan aplikasi Shallow Water Mapper (SWM), sebuah inovasi berbasis teknologi Satellite-Derived Bathymetry (SDB) yang mampu memetakan kedalaman laut dangkal secara lebih efisien dan akurat. Teknologi ini memanfaatkan data citra satelit optik untuk menghasilkan informasi kedalaman laut tanpa ketergantungan penuh pada survei lapangan. Dengan demikian, SWM menjadi solusi pemetaan semi-detail yang cepat, ekonomis, dan mudah digunakan, sekaligus tetap mendukung validasi melalui survei lapangan di wilayah tertentu.

Gambar: Pemetaan Batimetri Perairan Satonda Island Menggunakan Shallow Water Mapper

Inovasi SWM terletak pada penerapan metode Satellite-Derived Bathymetry (SDB) yang dikombinasikan dengan algoritma Machine Learning berbasis cloud computing. Pendekatan ini memungkinkan proses pemetaan dilakukan secara otomatis dan terintegrasi dengan berbagai sumber citra satelit multispektral seperti Sentinel-2, Landsat 5, 7, 8, dan 9 tanpa perlu mengunduh data secara manual. Berbeda dengan metode konvensional yang menggunakan pendekatan empiris berbasis regresi, SWM menghadirkan sistem modern yang mampu mengolah, menguji, dan memverifikasi hasil pemetaan langsung di dalam aplikasi. Keunggulan lain dari SWM adalah kemampuan ekstraksi kedalaman dengan tingkat akurasi 0 hingga 8 meter, yang diuji menggunakan standar International Hydrographic Organization (IHO).

Dalam pengembangannya, metode SDB yang digunakan SWM mengadopsi konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Lyzenga pada tahun 1978, yakni pendekatan empiris berbasis regresi linier antara reflektansi citra satelit dan kedalaman laut hasil survei. Kini, pendekatan tersebut disempurnakan dengan Machine Learning dan pemrosesan berbasis cloud computing, sehingga dapat meningkatkan ketelitian hasil serta mempercepat proses pengolahan data. Melalui integrasi ini, SWM mampu memetakan wilayah perairan dangkal dengan presisi tinggi dan efisiensi yang jauh lebih baik dibandingkan metode tradisional.

Pengembangan SWM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemetaan perairan dangkal tanpa harus melakukan survei lapangan intensif yang memakan waktu dan biaya besar. Selain itu, aplikasi ini juga dirancang untuk menghasilkan data yang akurat dan andal, meningkatkan fleksibilitas pemetaan di wilayah perairan Indonesia yang beragam, serta meminimalkan risiko keselamatan di lapangan, terutama di area sensitif seperti terumbu karang dan habitat laut. Dengan hadirnya SWM, proses pemetaan dasar laut menjadi lebih cepat, aman, dan dapat diakses oleh berbagai pihak, mulai dari lembaga pemerintah hingga komunitas riset dan masyarakat lokal.

Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Eng. Masita Dwi Mandini Manessa, selaku peneliti pengembang, “SWM (Shallow Water Mapper) dapat membantu siapa pun—baik pemerintah, peneliti, hingga komunitas lokal—memahami kondisi perairan dangkal dengan cepat dan mudah. Hasilnya berguna untuk merencanakan wilayah pesisir, mendukung keselamatan dan aktivitas laut skala kecil, memantau perubahan lingkungan seperti sedimentasi atau kerusakan habitat, serta menghemat waktu dan biaya dibanding survei lapangan penuh. Intinya, SWM mempercepat alur dari ‘melihat kondisi’ menjadi ‘mengambil keputusan’ yang lebih tepat dan berdampak.”

Sementara itu, Chairul Hudaya, Ph.D., selaku Direktur Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi (DIRBT) Universitas Indonesia, menegaskan bahwa inovasi seperti SWM merupakan bukti nyata kontribusi akademisi dalam menjawab tantangan nasional melalui solusi berbasis teknologi. “Kami di Universitas Indonesia berkomitmen untuk mendorong inovasi yang tidak hanya unggul secara ilmiah, tetapi juga memiliki dampak langsung bagi masyarakat. SWM menjadi contoh bagaimana teknologi hasil riset dapat menjembatani kebutuhan pemerintah, peneliti, dan pelaku lapangan dalam mengelola sumber daya laut dengan lebih bijak dan berkelanjutan,” ujarnya.

Melalui inovasi ini, SWM diharapkan mampu menjadi tonggak penting dalam pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia. Teknologi ini tidak hanya memperkuat kapasitas nasional dalam pemetaan perairan dangkal, tetapi juga menjadi contoh penerapan teknologi berbasis satelit dan machine learning yang mendukung pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan pesisir.