Dari Limbah Khitan Jadi Emas Bioteknologi Inovasi Sel Fibroblastik Bebas Hewani Karya Peneliti UI

Preputium (kulit penutup kepala penis) biasanya dipotong saat sirkumsisi/khitan dan selama ini menjadi limbah medis yang tidak termanfaatkan. Padahal, jaringan dermis preputium merupakan sumber potensial sel fibroblastik yang banyak digunakan dalam penelitian maupun aplikasi klinis, misalnya sebagai feeder cell pengganti cell line asal mencit 3T3 pada kultur sel punca epidermis, terapi penunjang untuk penyembuhan luka, rejuvenasi, dan lain-lain.

Sampai saat ini sudah ada sel fibroblastik asal jaringan dermis kulit preputium yang diproduksi secara komersial. Namun, metode isolasi dan propagasi sel fibroblastik yang tersedia umumnya menggunakan fetal bovine serum (FBS), bahan yang berasal dari hewan. Hal ini menimbulkan masalah bila sel digunakan untuk kepentingan klinis karena berisiko menyebabkan reaksi imun dan penolakan. Selain itu, produk sel fibroblastik yang tersedia secara komersial relatif mahal dan sulit diakses di Indonesia.

Menjawab tantangan ini, para peneliti dalam negeri berhasil menciptakan sebuah inovasi: metode isolasi dan propagasi sel fibroblastik asal dermis kulit preputium bebas materi hewani. Invensi ini menggunakan pendekatan sederhana dengan memanfaatkan platelet rich plasma (PRP) atau trombosit konsentrat sebagai pengganti FBS. Hasilnya, proses produksi sel fibroblastik menjadi lebih aman untuk aplikasi klinis, lebih terjangkau secara biaya, dan sepenuhnya bisa dilakukan di Indonesia.

Metode ini melibatkan beberapa tahapan. Pertama, jaringan epidermis dipisahkan dari dermis menggunakan enzim dalam larutan buffer. Dermis kemudian dipotong kecil-kecil dan ditanam dalam medium berbasis PRP pada kultur primer. Pertumbuhan sel diamati hingga sel mencapai kondisi confluent, lalu dilakukan panen berulang. Explant jaringan yang tersisa tetap bisa menghasilkan sel baru, sehingga efisiensi proses meningkat. Selanjutnya, sel-sel yang dihasilkan dapat disimpan jangka panjang menggunakan teknik cryopreservation dalam nitrogen cair.

Gambar 1: Kultur primer dermis preputium manusia. Pada sisi kanan tampak jaringan eksplan, dengan sel-sel fibroblastik yang keluar (sprouting) darinya.

Inovasi ini memiliki sejumlah keunggulan. Selain bebas dari materi hewani, metode ini mengandalkan teknik explant cacah dan panen berulang yang sederhana. Biayanya jauh lebih murah karena diproduksi di dalam negeri, sehingga membuka akses lebih luas bagi peneliti maupun industri. Tidak hanya itu, sel fibroblastik hasil metode ini bisa menjadi pengganti feeder cell mencit 3T3 pada kultur stem cell epidermis serta memiliki potensi luas dalam riset biomedis dan terapi regeneratif.

Gambar 2: Subkultur sel-sel fibroblastik asal dermis preputium. 

Tujuan besar dari invensi ini adalah menghadirkan metode produksi sel fibroblastik yang aman, efisien, dan mendukung kemandirian riset di Indonesia. Dengan adanya teknologi ini, ketergantungan pada produk impor bisa ditekan, sekaligus memperkuat ekosistem penelitian bioteknologi di tanah air.

Harapan terhadap inovasi ini disampaikan langsung oleh dr. Isabella Kurnia Liem, MBiomed, PhD, PAK(K) selaku peneliti utama. Menurutnya, langkah ini bukan sekadar pengembangan teknologi, melainkan juga strategi untuk membuka peluang baru dalam penelitian maupun aplikasi klinis. “Kami berharap inovasi ini bisa menjadi pintu masuk bagi kemandirian Indonesia dalam produksi sel fibroblastik. Jika selama ini kita masih sangat bergantung pada produk impor yang mahal dan sulit diakses, kini ada peluang untuk menghasilkan produk serupa dengan biaya lebih murah dan sesuai standar klinis. Harapannya, sel fibroblastik yang dihasilkan bukan hanya bermanfaat untuk riset dasar, tetapi juga untuk terapi regeneratif dan pengembangan produk kesehatan berbasis sel di tanah air,” ungkap dr. Isabella.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya memberi nilai tambah pada sesuatu yang selama ini hanya dianggap limbah. “Preputium yang selama ini dibuang ternyata bisa kita manfaatkan sebagai sumber sel yang sangat berharga. Dengan pendekatan ini, kita bisa mengurangi limbah sekaligus menciptakan peluang baru dalam sains dan industri kesehatan. Ke depan, kami ingin mendorong kolaborasi lintas bidang agar hasil invensi ini benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas,” tambahnya.

Sementara itu, Chairul Hudaya, Ph.D., Direktur Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi (DIRBT) Universitas Indonesia, menegaskan pentingnya hilirisasi hasil riset. “Inovasi ini menunjukkan bahwa sumber daya lokal bisa menjadi basis pengembangan teknologi kesehatan yang strategis. Kami di DIRBT UI berkomitmen untuk mendukung percepatan hilirisasi riset, sehingga produk seperti sel fibroblastik ini tidak berhenti di laboratorium, tetapi benar-benar hadir untuk mendukung riset klinis, terapi regeneratif, hingga industri kesehatan nasional,” ujarnya.

Terobosan ini membuka jalan baru bagi dunia bioteknologi Indonesia. Dari bahan yang semula tidak terpakai, kini lahir inovasi bernilai tinggi yang berpotensi mengubah arah penelitian, memperkuat industri kesehatan, hingga menghadirkan solusi nyata bagi terapi regeneratif di masa depan.

 

Penulis: M. Iqram